Tuesday, July 7, 2015

{BAB TIGA 17} TAWAKKAL (al-Qusyairiyyah)

| Tuesday, July 7, 2015
TERJEMAH KITAB 
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
PENJELASAN TENTANG
“TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN SUFI”

17.
TAWAKKAL

Firman Allah swt. berfirman :
“Dan barangsiapa bertawakal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupkan (keperluan)nya.” (Qs. Ath-Thalaq:3).
“Karena itu, hendaklah kepada Allah saja orang-orang Mukmin bertawakkal.” (Qs. Ali Imran:160).
“Dan hanya kepada Allah hendaknya kamu bertawakkal, jika kamu benar-benar orang yang beriman.” (Qs. Al-Maidah:23).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Telah diperlihatkan kepadaku semua ummat di tempat berkumpul haji. Kulihat bahwa ummatku mememnuhi lembah dan gunung-gunung. Jumlah dan penampilan mereka mengagumkan hatiku. Aku ditanya : “Apakah engkau ridha?” Aku menjawab : “Ya”. Bersama dengan mereka akan ada tujuh puluh ribu orang  yang masuk surga tanpa hisab. Mereka adalah orang-orang yang tidak pernah berobat dengan besi panas, tidak pernah mencari ramalan dengan burung, dan idak penah pula mencuri; dan mereka hanya bertawakkal kepada Allah.” Mendengar perkataan Nabi itu, Ukasyah bin Muhsan al-Asady bangkit berdiri dan meminta, “Wahai Rasulullah, doakanlah kepada Allah agar memasukan aku ke dalam salah seorang di antara mereka.” Rasulullah lalu berdoa>’ Ya Allah, jadikanlah ia salah seorang dari mereka.” Yang lain bangkit pula, juga berkata : “Doakan juga saya, wahai Rasulullah.” Beliau menjawab, : “Engkau telah didahului akasyah.” (H.r. Ahmad).
Abu Ali ar.Rudzbary menuturkan : “Aku berkata kepada ‘Amar bin Sinan : “Ceritakan kepadaku tentang Sahl bin Abdullah! Maka ia pun berkata kepadaku : “Ia berkata bahwa ada tiga tanda orag gyang bertawakkal kepada Allah swt. Tidak meminta-minta, tidak menolak sesuatu (pemberian) dan tidak pula menahan sesuatu.”
Abu Musa ad-Dubaily mengabarkan : “Abu Yazid al-Bisthamy ditanya : “Apakah tawwakl itu?” Maka ia lalu bertanya kepadaku, “ Bagaimana apendapatmu?” Aku menjawab : “Para murid kami mengatakan : “Bahkan jika seekor binatang buas dan ular berada di kiri dan kananmu, jiwamu tidak akan bergetar karenanya.” Abu Yazid mengatakan : “Ya” itu mendekati. Tetapi jika  penghuni surga hidup dengan penuh kenyamanan dan penghuni neraka hidup dengan penuh siksaan, kemudian terrlintas dalam pikiranmu untuk lebih menyukai kehidupan yang satu daripada kehidupan yang lain, berarti engkau telah keluar dari golongan tawakkal!.”
Sahla bin Abdullah menjelaskan : “Maqam pertama dalam tawakkal adalah bahwa si hamba berada di tangan Allah swt. seperti mayit di tangan orang yang memandikannya, yang membolak-balikannya sesuka hatinya, tanpa ia bergerak dan berangan-angan.”
Hamdun al-Qashshar, menandaskan : “Tawakkal adalah berpaut erat pada Allah swt.”
Seorang laki-laki bertanya kepada Hatim al-Asham : “Siapa yang memberrimu makanan?” Ia menjawab : “Milik Allah-lah harta kekayaan dalngit dan bumi, tetapi orang munafik tidak memahaminya.” (Qs. Al-Munafiqun :7).
Ketahuilah bahwa tempat tawakkal adalah hati. Sedangkan gerakan lahiriah tidak menaggalkan tawakkal dalam hati manakala si hamba telah yakin bahwa takdir datang ari Allah swt, di dalamnya, dan jika sesuatu dimudahkan kepadanya, ia melihat kemudahan dari Alalh swt. di dalamnya.
Diriwayatkan oleh Anas bin Malik bahwa seorang laki-laki datang kepada Rasulullah saw. dengan mengendari unta, dan ia bertanya : “Wahai Rasulullah, haruskah aku biarkan saja unta tanpa ditambatkan atau kemudian aku bertawakal saja kepada Allah?” Beliau menjawab “Tambatkanlah untamu dan sesudah itu bertawakkallah.” (H.r. Tirmidzi).
Ibrahim al-Khawwas berkomentar : “Barangsiapa benar-benar bertawakkal kepada Allah di dalam urusan dirinya sendiri, pasti juga akan bertawakkal kepada Allah dalam urusan dengan orang lain.”
Bisyr al-Hafi mengabarkan : “Salah seorang Sufi mengatakan : “Aku telah bertawakkal kepada Allah swt. padahal aku berdusta kepada Allah swt. Seandainya ia bertawakkal tentu akan puas dengan segala sesuatu yang diberikan Allah kepadanya.”
Yahya bin Mu’adz ditanya : “Bilakah seseorang dikatakan bertawakkal?” Ia menjawab : “Jika ia rela menerima Allah sebagai pelindungnya.”
Brahim al-Khawwa menuturkan : “Ketika aku sedang melakukan perjalanan ke pedalaman, sebuah suara memanggilku dan seorang Badui berjalan menghampiriku. Ia berkata kepadaku : “Wahai Ibrahim di antara kami ada yang bertawakkal kepada Allah. Tinggallah bersama kami sampai keyakinanmu menjadi benar (Shahih). Tidakkah engkau tahu bahwa harapanmu untuk sampai ke sebuah kota aalah dmei memperoleh citarasa makananyang berbeda?” Berhentilah mengharapkan kota-kota dan bertawakkalh kepada Allah.”
Ketika Ibnu Atha’ ditanya hakikat tawakkal, ia menjelaskan : “Tawakkal adalah bahwa hendaknya hasrat yang menggebu-gebu terhadap perkara duniawi tidak muncul dalam dirimu, meskipunengkau sangat membutuhkannya, dan bahwa hendaknya engkau senantiasa bersikap qana’ah dengan Allah, meskipun engkau tergantung paa kebutuhan-kebutuhan duniawi itu.”
Abu Nashr as- Sarraj berkata : “Keadaan bertawakkal kepada Allah adalah seperti yang dikatakan oleh Abu Turab an-Nakhsyaby : “Mengabdikan jasad untuk beribadat, mengaitkan hati kepada Allah, dan bersikap tenang dalam mencari kebutuhan. Jika diberi bersyukur, jika tidak, tetap bersabar.”
Seperti dikatakan Dzun Nuun al-Mishry : “Tawakkal kepada Allah swt. berarti meninggalkan daya upaya, sebab si hamba hanya mampu bertawakkal kepada-Nya jika ia mengetahui bahwa Alalh swt. Maha Tahu dan Maha Melihat akan keadaannya.”
Abu Ja’far bin Abu Faraj menuturkan : “Aku melihat seorang dari kalangan jahat dikenal dengan sebutan Unta Aisyah, yang sedang menerima hukuman cambuk. Aku bertanya kepadanya : “Pada saat bagaimana rasa sakitmu akibat cambukkan menjadi reda?” Ia menjawab : “Manakala orang yang menyebabkan kami dicambuk melihat kami.”
Al-Husain bin Manshur bertanya kepada Ibrahim al-Khawwas : “Apa yag telah engkau capai dalam perjalananmu menyeberangi padang pasir?” Ibrahim al-Khawwas menjawab : “Aku tetap berada dalam keadaan tawakkal kepada Allah dan menyembuhkan diriku dengannya.” Al-Husain lalu bertanya kepadanya : “Engkau telah menghabiskan usiamu demi menumbuh suburkan jiwamu. Tapi bagaimana pendapatmu tentang pemusnahan jiwa demi keesaan Allah.?”
Abu Nashr as-Sarraj mengatakan : “Tawakkal adaalh sebagaimana dikatakan oleh Abu Bakr ad-Daqqaq : “Membatasi kepedulain mencari rezeki sehari saja, dan tidak berharap suatu apa pun untuk esok hari.”
Ia menegaskan : “Tawakkal juga seperti yang dikatakan oleh Sahlbin Abdullah : “Menyerahkan diri kepada Allah swt. dalam apa pun yang dikehendaki-Nya.”
Abu Ya’kub an-Nahrajury berkata : “Tawakkal kepada Allah, pada hakikatnya adalah keadaan yang dicerminkan oleh Ibrahim as. Ketika menaggapi tawaran Jibril as. Untuk menolongnya, Maka Ibrahim As. Menjawab : “Darimu, aku tiak perlu bantuanmu.” Ibrahim telah lebur dalam Allah swt. dan bersama-ya, dan karenanya tidak melihat bersama Allah selain Allah swt.
Seorang laki-laki bertanya kepada Dzun Nuun am-Mishry : “Apakah tawakkal itu?” dan ia menjawab : “Tawakkal adalah menyingkirkan semua yang dipertuan (selain Alalh swt.) dan meninggalkan hukum sebab akibat.” Orang itu meminta : “Apa lagi?” Dzun Nuun melanjutkan : “Tawakkal aalah menghambakan diri kepada Allah dan mengeluarkan diri dari rububiyah.”
Ketika Hmadun al-Qashshar ditanya tentag tawakkal, ia menjelaskan : “Tawakkal adalah jika engkau punya sepuluhribu dirham dan engkau berhutang seperenam dirham, engkau tetap merasa cemas kalau-kalau engkau mati sementara hutangmu itu belum terbayar. Dan jika engkau punya hutang sepuluh ribu dirham dan tidak mampu mewariskan harta yang cukup untuk melunasi hutangmu, engkau tidak putus asa bahwa Allah swt. niscaya akan menyelesaikan hutangnmu itu.”
Ketika ditanay tentang tawakkal, Abu Abdullah al-Qurasyi berkomentar : “Tawakkal berarti bergantung kepada Allah swt. dalam setiap keadaan.” Si penanya minta penjelasan lebih jauh, dan beliau mengatakan : “Tinggalkan ketergantungan kepada setiap sebab yang membawa kepada sebab yang lain, hingga Allah sendiri yang menguasai semua itu.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Tawakkal adalah keadaan ruhani (haal) Nabi saw. dan Ikhtiar adalah Sunnahnya. Maka, barangsiapa yang tetap keadaannya, berarti janganlah meninggalkan Sunnahnya.”
Abu Sa’id bin Isa al-Kharraz berkata : “Tawakkal adalah kecemasan tanpa perasaan puas dan kepuasan tanpa kecemasan.”
Dikatakan : “Tawakkal adalah menganggap kemewahan dan kekurangan tidak ada bedanya bagi diri sendiri.”
Ibnu Masruq menegaskan : “Tawakkal adalah menyerahkan diri kepada alur qadha’entuan Allah.”
Abu Utsman al-Hiry menegaskan : “Tawakkal adalah sikap cukup bersama Allah swt. dengan menggantungkan diri kepada-Nya.”
Al Husain bin Manshur mengatakan : “Orang yang benar-benar tawakkal kepada Allh swt. tidak akan memakan sesuatu, karena di negara itu ada orang yang lebih berhak akan makanan itu daripada dirinya.”
Umar bin Sinan menuturkan : “Ibrahaim al-Khawwas berjalan melewati kami, dan kami berkata kepadanya : “Katakan kepada kami hal paling aenh yang Anda lihat dalam perjalanan-perjalanan Anda!” Ia menjawab : “Al-Khidhr as. Menemuiku dan minta diperbolehkan menyertaiku, tapi aku takut jika tawakkalku kepada Allah swt. menjadi rusak dengan keberadaannya bersamaku. Karena itu, aku lalu memisahkan diri darinya.”
Ketika Shal bin Abdullah ditanya tentang tawakkal, ia menjelaskan : “Kalbu yang hidup bersama Allah swt.dan tidak tertarik kepada yang lain.”
Syeikh Abu Ali ad-daqqaq berkata : “Ada tiga tingkatan bagi orang yang bertawakkal : (1) Tawakkal (2). Taslim dan (3), Tafwidh.” Orang yang tawakkal akan merasa tenteram denan janji-Nya, orang yang taslim akan merasa cukup dengan pengetahuan-Nya, dan orang yang Tafwidh kepada Allah akan merasa puas dengan kebijaksanaan-Nya.”
Saya mendengar beliau berkata : “Tawakkal kepada Allah adalah awal; Taslim adalah tengah-tengahnya, dan Tafwidh segenap urusan kepada Allah adalah ujungnya.”
Ad-Daqqaq ditanya tentang tawakkal, dan ia berkomentar : “Tawakkal adalah makan tanpa tamak.”
Yahya bin Muadz mengatakan : “Memakai pakaian dari wol adalah sebuah toko; berbicara tentang zuhud adalah sebuah pekerjaan, dan menyertai sebuah kaffilah adalah nafsu. Semua ini adalah ketergantungan-ketergantungan.”
Seoang laki-laki datang kepada Asy-Syibly dan mengeluhkan tanggungan keluarganya yang banyak. Asy-Syibly mengatakan : “Pulanglah ke rumahmu dan usirlah siapa-siapa yang rezekinya bukan berkat Allah swt.”
Sahl bina Abdullah menegaskan : “Barangsiapa menghantam dalam aktivitas geraknya, berarti menghantan Sunnah, dan abrangsiapa menghantam dalam tawakkal berarti menghantam dalam iman.”
Ibrahim al-Khawwas mengisahkan : “Ketika aku sedang dalam perjalanan menuju  ke Mekkah, tiba-tiba aku melihat seorang yang beringas. Aku bertanya kepadanya : “Engkau seorang manusia ataukah jin?” Ia menjawab : “Aku Jin.” Aku bertanya lagi : “Engkau hendak pergi ke mana?” Ia menjawab tegas : “ke Mekkah, Aku kembali bertanya : “Tanpa bekal apa pun?” Ia menjawab tegas : “Ya, Di kalangan kamijuga ada jin-jin yang melakukan perjalanan dalam keadaan tawakkal kepada Allah.” Aku bertanya kepadanya : “Dan apakah tawakkal itu?” Ia menjawab : “ Menerima dari Allah swt.”
Ibrahim al-Khawwa adalah seorang yang tiada taranya dalam hal tawakkal kepaa Allah. Ia belaku sangat cermat dalam hal itu, Ia selalu membawa jarum dan benang, sebuah timba kecil untuk berwudhu, dan sebuah guntung. Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Abu Ishaq, mengapa anda membawa barng-barang ini, sementara Anda mencegah diri dari segala hal?” Ia menjawab : “Barang-barang ini tidak merusak tawakkal kepada Allah set. Sebab Allah swt. telah menjadikan kewajiban-kewajiban mengikat kita semua. Seorang fakir tak memiliki kecuali hanya sepotong jubah, dan jubahnya bisa robek. Jika ia tidak membawa jarum dab benang dan benang, niscaya auratnya akan terbuka, maka kesuciannya akan ternoda. Jika engkau melihat seorang fakir yang tidak membawa timba, jarum dan benang, maka patutu engkau ragukan kesempurnaan shalatnya.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Tawakkal sifat orang beriman, taslim sifata para wali, dan menyerahkan segenap urusan kepaa Allah (tafwidh) adalah sifat ahli tauhid. Tawakkal adalah sifat kaum awam, taslim adalah sifat manusia-manusia khawash, dan tafwidh adalah sifat khawashul khawash.” Saya juga mendengar beliau berkata : “Tawakkal kepada Allah adalah sifat para Nabi, taslim adalah sifat Nabi Ibrahim as. Dan tafwidh adalah sifat Nabi kita Muhammad saw.”
Abu Ja’far al-Haddad menuturkan : “Selama kira-kira sepuluh tahun tetap berada dalam keadaan pasrah kepada Allah, sementara aku juga bekerja di pasar. Setiap hari aku menerima upah, dan tanpa menggunakan sedikit pun darinya untuk membeli seteguk air atau pergi ke kamar mandi umum, aku membawa upah hasil jerih payahku kepada para fakir di Syuniziyah, dan kondisiku sendiri tetap seperti semula.”
Al-Husain, saudara Sinan, berkata : “Aku melakukan ibadat haji empatbelas kali dengan kaki telanjang dan penuh tawakkal kepada Alalh. Jika kakiku tercocok duri, kuingatkan diriku bahwa aku telah mewajibkan pada jiwaku untuk bertawakkal kepada Allah. Kugosok-gosokan kakiku ke tanah dan kuteruskan perjalananku.”
Abu Hamzah berkata : “Aku merasa malu kepada Allah swt. memasuki padang pasir dalam ekadaan perut kenyang, padahal aku meyakini diriku bertawakal, karena khawatir jangan-jangan perjalananku dengan rasa kenyang itu sendiri merupakan bekal yang kusiapkan begi dirimu.”
Etika Hamdun al-Qashshar ditanya tentang tawwakl kepada Allah, ia menjawab : “Tawakkal adalah derajat yang belum kucapai, dan bagaimana seseorang yang belum menyempurnakan kondisi imannya berbicara tentang tawwakal?”
Dikatakan : “Orang yang bertawakkal kepada Allah swt. seperti seorang gbayi. IA tidak tahu tempat lain di mana harus berlindug, kecuali payudara ibunya. Seperti itulah keadaan orang gyang bertawakkal kepada Allah swt. Ia dibimbing hanya kepada Allah swt.”
Salah seorang Sufi menuturkan : “Aku sedang berada di padang pasir dan berjalan di depan sebuah kafilah. Aku melihat seseorang di depanku, lalu aku bergegas menyusulnya. Ternyata ia adalah seorang wanita yang memegang tongkat dan berjalan cukup pelan. Karena kupikir ia seorang yang lemah, maka aku merogoh saku dan mengeluarkan uang duapuluh dirham, dan kukatakan kepadanya, “Ambillah ini. Tunggulah sam[ai kafilah di belakang menyusulmu dan sewalah seekor unta dengan uang ini!.”
Tetapi wanita itu hanya mengangkat tangannya ke udara, dan tiba-tiba di tangannya sudah tergenggam uang-uang dinar. Katanya : “Engkau mengambil dirham dari kantung bjumu, tetapi aku mengambil dinar dari Yang Gaib.”
Abu Sulaiman ad- Darany melihat seorang laki-laki di Mekkah – semoga Allah memuliakan tempat ini --- yang tidak mengonsumsi apa pun selain air Zam-zam. Setelah beberrapa hari, Sulaiman bertanya kepadanya.” Bagaimana pendapat Anda, jika sumur Zam-zam kering, apa yang akan Anda minum?” Orang itu berdiri, mencium kening Sulaiman, dan berkata : “Semoga Allah membalas kebaikanmu karena engkau telah memberi petunjuk kepadaku; sebab sungguh aku telah menyembah Zam-zam selama beberpa hari ini.” Kemudian laki-laki itu un berlalu.”
Ibrahim al-Khawwas mengabarkan : “Aku melihat seorang pemuda di jalan yang menuju ke Syam dengan perilaku menawan hati. Ia bertanya kepadaku : “Apakah Anda ingin ditemani?” Aku menjawab : “ Tapi aku orang yang lebih lapar.” Ia berkata : “Jika Anda lapar, saya juga akan berlapar-lapar bersama Anda.” Maka kami pun berrjalan bersama-sama selama empat hari. Kemudian sesuatu dihadiahkan orang kepada kami, dan aku mengajaknya makan.” Mari kita makan!”
Ia berkata : “Saya telah bertekad untuk tidak menerima apa pun melalui seorang perantara.” Maka aku lalu berkata : “Wahai anak muda, betapa ketatnya engkau berlaku atas dirimu sendiri.” Ia menjawab : “Wahai Ibrahim, janganlah Anda memujiku, sebab Dia yang membuat perhitungan melihat kita.” Apa yang engkau ketahui tentang tawakkal?” Lalu ia menjawab : “Permulaan tawakkal adalah bahwa jika Anda merasakan sesuatu kebutuhan, Anda menolak, dan Anda tidak menginginkan sesuatu pun selain Dia yang memiliki segala kecukupan.”
Dikatakan : “Tawakkal kepada Allah berarti menafikan keraguan dan menyerahkan segala urusan kepada Sang Maha Diraja.”
Dikatakan juga : “Sekelompok orang datang kepada al-Junayd dan bertanya : Ke manakah kita harus mencari rezeki?” Ia menjawab : “Jika kalian semua tahu, pergi dan carilah di sana!” Mereka berkata : “Tetapi kami memang meminta kepada Allah swt.” Al-Junayd mengajarkan : “Jika kalian mengira bahwa Dia melupakan diri kalian, maka ingatkanlah Dia.” Mereka bertanya : “haruskah kita pulang dan bertawakkal kepada Allah?” Al-Junayd menjawab : “Menguji berarti meragukan.” Mereka bertanya : “Lantas, apakah rekayasa itu?” Al-Junayd menjawab : “Yaitu meninggalkan rekayasa itu sendiri.”
Abu Sulaiman ad-Darany berkata kepada Ahmad bin al-Hawary : “Wahai Ahmad, sesungguhnya jalan menuju ke akhirat itu banyak, dan Syeikhmu mengetahui banyak diantaranya, kecuali jalan tawakkal yang diberkati ini, sebab aku belum pernah mencium baunya.”
Dikatakan : “Tawakkal adalah mengandalkan apa yang ada di tanagn Allah swt. dan berputus-asa apa yang ada di tangan manusia.”
Dikatakan juga : “Tawakkal adalah mengosongkan batin dari pikiran untuk menuntut terpenuhinya kebutuhan dalam upaya mencari rezeki.”
Al-Harits al-Muhasiby – semoga Allah merahmatinya – ditanya tentang orang yang beratawakkal : “Apakah nafsu mempengaruhinya?”
Ia menjawab : “Kebinasaan yang disebabkan oleh watak yag mempengaruhi, tetapi hal itu tidak membahayakan dirinya sama sekali, dan berputus asa dari semua yang ada di tangan manusia memberinya kekuatan untuk mengatasi tamak.”
Dikatakan bahwa an-Nury sedang berada di apdang pasir dalam keadaan lapar ketika sebuah suara membisikan kepadanya : “Manakah yang lebih engkau cintai, penyebab kecukupan ataukah kecukupan itu sendiri?” An-Nury menjawab : “Kecukupan. Sebab tidak ada lagi selain itu.” Maka ia pun selama tujuhbelas hari tidak makan.”
Abu Ali ar-Rudzbary berkata : “Jika setelah lima hari seorang fakir mengatakan : “Aku lapar,” Maka kirimlah ia ke pasar untuk mencari pekerjaan dan memperoleh sesuatu untuk dimakan.”
Dikatakan bahwa Abu Turab an-Nakhstaby sekali waktu melihat seorang Sufi memungut kulit semangka untuk dimakan setelah tiga hari menahan lapar. Maka an-Nakhsyaby lalu berkata kepadanya, : “Tidak cocok untukmu perilaku Sufi. Pergi saja ke pasar (Untuk kerja)!.
Abu Ya’kub al-Aqtha’ al-Bashry menuturkan : “Suatu ketika aku kelaparan selama sepuluh hari di Masjdil Haram, dan aku merasa lemah, Nafsu menggodaku. Maka aku pergi ke lembah sungai untuk mencari sesuatu yang menguatkan tubuhku. Aku melihat sebuah saljamat (sejenis sayuran) dibuang seseorang, lalu aku memungutnya. Aku merasakan suatu kegelisahan yang menakutkan dalam hati karena perbuatanku itu, seolah-olah ada suara  yang mengatakan kepadaku : “Engkau telah lapar selama sepuluh hari, dan sekarang bagianmu hanya sebuah saljamat yang busuk!” Maka saljamat itu pun kubuang. Aku masuk ke Masjid, kemudian duduk. Tiba-tiba ada seorang non Arab di hadapanku seraya meletakkan sebuah bingkisan dan berkaa : “Ini untuk Anda!” Aku bertanya kepadanya : “Bagaimana Anda telah memilih saya, untuk memberikan bingkisan ini?” Ia berkata kepadaku : “Ketahuilah bahwa kami telah berada di laut selama sepuluh hari. Dan ketika kapal yang kami tumpangi nyaris tenggelam, masing-masing dari kami bernadzar bahwa jika Allah swt. menyelamatkan, kami akan memberikan sesuatu sedekah. Saya sendiri bernadzar, bahwa jika Allah swt. menyelamatkan saya, saya akan memberikan bingkisan ini kepada orang pertama yang saya temui di antara mereka yang tinggal di dekat Masjid ini, dan Andalah orang pertama yang saya temui.” Aku lalu meminta orang itu agar membuka bingkisannya. Ia pun membukanya dan kudapati  di dalamnya ada kue-kue samid Mesir, buah kenari berbalut tepung, dan daging manis yag dipotong kotak-kotak kecil. Aku mengambil sedikit dari masing-masing jenis makanan itu dan berkata : “Bawalah sisa makanan ini kepada para pelayan Anda! Ini adalah hadiah saya untuk Anda, karena saya telah menerima hadiah Anda.” Kemudian aku berkata kepada diri sendiri : “Selama sepuluh hari, rezekimu sedang diperjalanan menuju ke tempatmu, tapi engkau malah mencarinya ke lembah.”
Abu Bakr ar-Razy mengabarkan : “Aku sedang berada bersma Mumsyad ad-Dinawary ketika mencuat pembicaraaan tentang hutang . Ia berkata : “Suatu ketika aku punya hutang, dan pikiranku terganggu memikirkannya. Kemudian aku bermimpi bertemu seseorang yang berkata kepadaku : “Wahai orang yang kikir, engkau merampas hak kami sebesar jumlah itu. Kewajibanmu adalah mengambil dan kamilah yang memberi.” Maka sejak saat itu aku tidak pernah lagi berurusan dengan tukang sayur, tukang daging, ataupun pedagang lainnya.”
Diceritakan tentang Bannan al-Hammal bahwa ia menuturkan : “Aku sedang berada di tengah perjalanan menuju ke Mekkah --- semoga Allah menjaganya – datang dari Mesir, dengan membawa bekal. Tiba-tiba seorang wanita mendatangiku dan berkata : “Wahai Bannan, engkau seorang kuli, engkau memikul perbeklan di atas punggungmu, dengan membayangkan bahwa Dia tidak akan memberikan rezeki kepadamu!.” Mendengar itu, aku lalu meletakkan bawaanku. Tapi kemudian tiga kali melintas dalam pikiranku bahwa aku belum makan. Aku menemukan sebuah gelang kaki di tengah jalan dan aku berkata dalam hatiku : “Barang ini akan terus ku pegang sampai pemiliknya datang. Mungkin ia akan memberiku sesuatu manakala aku mengembalikannya.” Kemudain muncullah wanita tadi, yang kemudian berkata kepadaku : “Nah, sekarang engkau adalah seorang pedagang! Engkau mengatakan, mungkin pemiliknya akan datang dan aku akan mempeoleh sesuatu darinya!” Lalu dilemparkannya uang bebeerapa dirham kepadaku, sambil berkata : “Belanjakanlah uang ini!” Ternyata uang itu mencukupi kebutuhanku hingga aku sampai ke Mekkah.”
Dalam suatu riwayat tentang Bannan disebutkan, bahwa ia memerlukan seorang budak wanita untuk melayaninya. Maka ia lalu mengungkapkan keperluannya itu kepada saudara-saudaranya. Mereka pun mengumpulkan uang untuk membeli seorang budak, dan memberitahu kepadanya : “Inilah uang untuk membeli budak itu! Sekelompok budak sedang dibawa orang kemari. Pilihlah mana yang engkau sukai!” Ketika rombongan budak itu tiba, semua mata tertuju kepada salah seorang budak, dan mereka berkata : “Itulah budak yang cocok untuknya.” Mereka bertanya kepada pemiliknya : “Berapa harga budak ini?” Ia menjawab “Ia tidak dijual.” Mereka meminta dengan sangat agar budak itu dijual kepada mereka, tapi pemiliknya mengatakan : “Ia telah didperuntukkan bagi Bannan al-Hammal!. Seorang wanita dari Samarkand mengirimkan kepadanya sebagai hadiah.” Dan kemudian budak itu pun dibawa kepada Bannan, dan si budak tersebut lalu menuturkan perihal dirinya kepada Bannan.
Al-Hasan al-Khayyath meriwayatkan : “Aku sedang berada bersama Bisyir al-Hafi ketika serombongan musyafir datang dan memberi salam kepadanya. Ia bertanya kepada mereka : “Dari mana Anda sekalian?” Mereka menjawab : “Kami dari Syam. Kami datang untuk memberi salam kepada Anda dan sekaligus untuk menunaikan ibadah haji.” Bisyr berkata : “Semoga Allah swt. menerima syukur Anda sekalian.” Mereka bertanya : “Maukah Anda pergi bersama kami? Bisyr menjawab : “Dengan tiga syarat : Kita tidak usah membawa (bekal) apa pun; kita tidak akan meminta apa pun kepada sipa pun; dan jika ada orang memberikan sesuatu kepada kita, kita tidak akan menerimanya.” Mereka menjawab : “Mengenai persyaratan pertama, kami setuju. Persyaratan kedua juga kami setuju. Tapi mengenai persyaratan ketiga, kami tidak setuju.” Maka Bisyr lalu berkata : “Anda semua telah datang dengan bertawakkal pada perbekalan untuk berhaji.” Kemudian ia menjelaskan : “Wahai Hasan,a da tiga macam fakir. Ada fakir yang tidak meminta-minta, tapi jika diberi ia tidak mau menerimanya, dialah tergolong fakir ruhani. Lalu, ada fakir yang tidak meminta-minta dan jika diberi sesuatu mau menerimanya, sebagai tawadhu.” Baginya di hadirat Yang Maha Suci. Dan si fakir yang meminta-minta, jika diberi menerimanya sebatas kebutuhan. Tebusannya adalah dengan memeberikan sedekah.”
Habib al-‘Ajamy ditanya : “Mengapa Anda berhenti berdagang?” Ia menjawab : “Aku telah mendapati bahwa jaminan Allah swt. itulah yang patut diandalkan.”
Diceritakan bahwa pada masa dahulu ada seorang laki-laki yang sedang melakukan perjalanan membawa sepotong roti. Ia berkata : “Jika aku memakan roti ini, aku akan mati.” Maka Allah lalu menyerahkannya kepada seorang malaikat, dengan perintah : “Jika ia memakan roti itu berilah ia rezeki. Jika ia tidak memakannya, maka janganlah engkau beri apa pun.” Sepotong roti itu tetap dipegangnya sampai ia meninggal (karena kelaparan), tanpa pernah dimakannya. Dan ketika ia meninggal, roti itu masih ada bersamanya.
Dikatakan : “Orang yang berjalan di medan tafwidh, maka tujuannya akan datang kepadanya sebagaimana pengantin wanita diiringkan kepada keluarga pengantin laki-laki. Perbedaan antara menyia-nyiakan anugerah Allah (tadhyi”) dengan menyerahkan sepenuhnya kepada Allah (tafwidh) aalah bahwa tadhyi’ berkaitan terhadap hak-hak Allah swt. dan merupakan tindakan tercela, sedangkan tafwidh berkaitan dalam hak-hak Anda, dan merupakan tindakan yang terpuji.”
Abdullah ibnul Mubarak mengatakan : “Barangsiapa menerima uang satu sen dari sumber yang tidak halal, beraarti ia tidak bertawakkal kepada Allah.”
Abu Sa’id al-Kharraz menuturkan : “Suatu ketika aku berjalan menelusuri padang pasir tanpa membawa bekal dan tiba-tiba aku memerlukan kebutuhan yang sangat. Jauh di sana, kulihat sebuah tempat perhentian, aku senang karena aku telah sampai. Maka aku berpikir : “Aku telah menjadi tenang, dan bertawakkal kepada sesuatu selain Dia.” Karenanya aku pun lalu bersumpah, bahwa aku tidak akan masuk ke suha tempat kecuali jika aku dibawa ke dalamnya. Aku menggali lubang dan mengubur badanku hingga sebatas dada. Tengah malam, terdengar suara bergema yang mengatakan : “Wahai penduduk desa, salah seorang wali Alalh telah menguburkan dirinya di pasir. Cari dan temukanlah ia!” Lalu jamaah datang kepadaku, mengeluarkanku dan membawaku ke Desa.”
Abu Hamzah al-Khurasany mengabarkan : “Suatu ketika aku pergi menunaikan ibadat haji. Di tengah perjalanan aku jatuh tercebur ke dalam sebuah sumur. Jiwaku mendesak agar aku segera minta tolong, tapi aku berkata : “Tidak, demi Allah, aku tidak akan minta tolong!.”Begitu aku berpikir demikian. Lewatlah dua orang laki-laki. Salah seorang diantaranya berkata : “Mari kita tutup lobang sumur ini agar tidak ada orang orang yang masuk jatuh ke dalamnya.” Mereka membawakan jerami dan anyaman, dan menutupi bibir sumur itu dengan tanah. Aku ingin berteriak, namun aku berkata kepada diri sendiri : “Aku hanya akan berteriak kepada Dia yang lebih dekat daripada kedua orang ini.” Maka aku pun tetap diam. Setelah satu jam, tiba-tiba datanglah sessuatu yang membuka tutup lubang itu dan menjulurkan kakinya. Saat itulah kudengar suara raungan pelan yang seolah-olah mmerintahkan aku : “Berpeganglah kepadaku!” Aku tahu apa yang dimaksudkan. Maka aku pun berpegang paa kakinya dan makhluk itu lalu menarikku ke luar dari lubang sumur. Ternyata ia seekor singa! Dan binatang itu lalu mneruskan perjalanannya. Sebuah suara gaib berseru kepadaku : “Wahai Abu Hamzah, tidakkah ini lebih baik? Satu kebinasaan menyelamatkanmu dari kebinasaan yang lain.” Aku pun terus berjalan, sambil bersyair :
Aku berteriak keras-keras kepada-Mu agar aku tampak.
Kepada-Mu apa yag kusembunyikan.
Rahasiaku mengatakan apa yang dikatakan mataku kepadanya.
Maluku terhadap-Mu mencegahku menyembunyikan nafsu,
Dan Kau buat aku paham, dari-Mu tersingkapnya tabir
Membuat kelembutan-Mu dalam persoalanku
Lalu Engkau tampakkan kesaksianku pada gaibku
Sedang kelembutan bertemu kelembutan
Engkau hadirkan Diri-Mu secara gaib kepadaku,
Seakan-akan Engkau beri daku kabar gembira,
Bahwa Kau dalam genggaman.
Kini kulihat Engkau, dan bagiku
Dari gentarku kepada-Mu.
Lalu Kau anugerahi sukacita kelemah-lembutan dari-Mu
Dan kasih-sayang-Mu.
Dan Kau hidupkan kembali seorang pecinta yang cintanya
Pada-Mu berarti kematian baginya
Duhai mengagumkan; hidup ada pada kematian.”
Hudzaifah al-Mar’asyi, yang telah emlayani dan menemani Ibrahim bin Adam dan para muridnya, ditanya : “Apakah kejadian paling aneh yang Anda saksikan bersamanya?” Ia menjawab : “Kami pernah menempuh perjalanan menuju Mekkah selama beberapa hari tanpa menemukan makanan. Kami datang ke kufah dan mencari tempat berteduh di sebuah reruntuhan masjid. Ibrahim melihat kepadaku dan berkata : “Wahai Huzaifah, kulihat tanda-tanda lapar pada dirimu.” Aku menjawab : “Seperti yang tuan guru lihat.” Ia lalu berkata kepadaku : “Bawalah kepadaku tinta dan selembar kertas!.”
Kubawakan apa yang yang dimintanya itu, dan ia menulis : “Dengan Nama Allah Yang Maha Pengasih, Maha Penyayang. Engkau adalah Dia yang diinginkan dalam setiap keadaan.” Maksud keseluruhannya adalah :
Aku pemudi, aku bersyukur, aku pengingat..
Aku lapar, aku haus, aku telanjang.
Inilah enam sifat, dan aku akan menjamin yang setengahnya.
Maka Engkau-lah penjamin yang setengahnya wahai Pencipta.
Pujiku, selain Diri-Mu bagaikan api,
Janganlah hamba-Mu yang kecil ini memasuki neraka
Lalu ia memberikan kertas bertulis itu kepadaku dan memerintahkan : “Pergilah keluar dan jangan engkau lekatkan hatimu pada sesuatu pun selain Allah swt. Berikan kertas ini kepada orang pertama yang engkau jumpai!” Aku pun pergi ke luar, dan orang pertama yang kulihat adalah seorang laki-laki yang sedang mengendarai seekor keledai. Kuberikan kertas itu kepadanya. Orang itu mengambilnya dan menangis. Ia bertanya : “Di mana orang yang telah menuliskan kata-kata pada kertas ini?” Kukatakan kepadanya, : “Ia berada di Masjid Anu.” Ia memberikan kepadaku sebuah kantong berisi uang enamratus dinar. Kemudian aku bertemu dengan seseorang lainnya dan aku bertanya kepadanya siapa orang yang mengendari keledai itu. Ian memberitahuku bahwa orang tersebut adalah seorang Nasrani. Aku kembali kepada Ibahim dan kuceritakan semuanya kepadanya. Ia berkata : “Jangan kau sentuh uang itu, sebab ia sedang menuju ke mari!.” Sejam kemudian orang Nasrani itu pun muncul, mencium kepala Ibrahim dan menyatakan keislamannya.”



Related Posts

No comments:

Post a Comment