40.
ADAB
Allah swt. berfirman :
“Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya.” (Qs. An-Najm :17).
Dikatakab bahwa ayat ini berarti : “Nabi melaksanakan adab di hadirat Allah.”
Allah swt. berfirman :
“Hai orang-orang yang beriman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu.” (Qs. At-Tahrim :6).
Mengomentari ayat ini, Ibnu Ababs mengatakan : “Didiklah dan ajarilah mereka adab.”
Diriwaayatkan oleh Aisyah r.a. bahwa Nabi saw. telah bersaabda : “Hak seorang anak atas bapaknya adalah si Bapak hendaknya memberinya nama yang baik, memberinya susu yang murni dan banyak, serta mendidiknya dalam adab dan akhlak.”
Sa’id bin al-Musayyab berkata : “Barangsiapa yang tidak mengetahui hak-hak Allah swt. atas dirinya dan tidak pula metetahui dengan baik perintah-perintah dan larangan-larangan-Nya, berarti tersingkir dari adab.”
Nabi saw. bersabda :
“Sesungguhnya Allah telah mendidik dalam adab dan menjadikan sangat baik pendidikanku itu.” (H.r. Baihaqi).
Esensi adab adalah gabungan dari semua akhlak yang baik. Jadi orang yang beradab orang yang pada dirinya tergabung perilaku kebaikan, dari sini munculah istilah ma’dubah yang berarti berkumpul untuk makan-makan.
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Seorang ghamba akan mencapai surga dengan mematuhi Allah swt. Dan akan mencapai Allah swt. dengan adab menaati-Nya.” Beliau juga mengatakan : “Aku melihat seseorang yang mau menggerakkan tangannya untuk menggaruk hidungnya dalam shalat, namun tangannya terhenti.”
Jelas bahwa yang beliau maksudkan adalah diri beliau sendiri. Syekh Abu Ali ad-Daqqaq tak pernah bersandar pada apa pun jika sedang duduk. Pada suatu hari beliau sedang berada dalam suatu kumpulan, dan saya ingin menenpatkan sebuah bantal di belakang beliau, sebab saya melihat beliau tidak punya sandaran. Setelah saya meletakkan bantal itu di belakangnya, beliau lalu bergerak sedikit untuk menjauhi bantal itu. Saya mengira beliau tidak menyukai bantal itu karena tidak dibungkus sarung bantal. Tetapi beliau lalu menjelaskan : “Aku tidak menginginkan sandaran>” Seteelah itu saya merenung, ternyata beliau memang tidak pernah mau bersandar pada apa pun.”
Al-Jalajily Bashry berkomenetar : “Tauhid menuntut keimaman. Jadi orang yang tidak punya iman tidak bertauhid. Iman menuntut syariat. Jadi orang yang tidak mematuhi syariat berarti tak punya iman dan tauhid. Mematuhi syariat menuntut adab. Jadi orang yang tak mempunyai adab tidak mematuhi syarita, tidak memiliki iman dan tahud.”
Ibnu Atha’ berkata : “Adab berarti terpaku dengan hal-hal yang terpuji.” Seseorang bertanya : “Apa artinya itu?” Dia meenjawab : “Maksudku engkau harus mempraktikan adab kepada Allah swt. baik secara lahir dan batin. Jika engkau berperilaku demikian, engkau memiliki adab, sekalipun bicaramu tidak seperti bicaranya orang Arab.”
Kemudian dia membacakan Syair :
Bila berkata, ia ungkapkan dengan manisnya
Jika diam, duhai cantinya
Bdullah al-Jurairy menuturkan : “Selma duapuluh tahun dlam khalwatku, belum pernah aku melonjorkan kaki satu kali pun ketika duduk. Melaksanakan adab pada Allah swt. adalah lebih utama.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Orang gyang bersekutu dengan raja-raja tanpa adab, ketololannya akan menjerumuskan pada kematian.”
Diriwayatkan ketika Ibnu Sirin itanya : “Adab mana yang lebih mendekatkan kepada Allah swt?” Dia menjawab : “Ma’rifat mengenai Ktuhanan-Nya, beramal karena patuh kepada-Nya, dan bersyukur kepada-ya atas kesejahteraan dari-Nya, serta bersabar dalam menjalani penderitaan.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Jika seoran ‘Arif meninggalkan adab di hadapan Yang Dima’rifati, niscaya dia akan binasa bersama mereka yang binasa.
Syeih Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Meninggalkan adab mengakibatkan pengusiran. Orang yang berperilaku buruk dipelataran akan dikirim kembali ke pintu gerbang. Orang gyang berperilaku buruk di pintu gerbang akan dikirim untuk menjaga binatang.”
Diriwayatkan kepada Hasan al-Bashry : “Begitu banyak yang telah dikatakan tentang berbagai ilmu sehubungan dengan adab. Yang mana diantaranya yang paling bermanfaat di dunia dan paling efektiff untuk akhirat?” Dia menjawab : “Memahami agama, zuhud di dunia , dan mengetahui apa kewajiban-kewajiban terhadap Allah swt.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Para sufi adalah mereka yang meminta pertolongan Alalh swt. dalam melaksanakan perintah-perintah-Nya dan yang senantiasa memelihara adab terhadap-Nya.”
Ibnul Mubarak berkta : “Kita lebih membutuhkan sedikit adab daripada banyak pengetahuan.” Dia juga mengatakan : “Kita mencari ilmu tentang adab setelah orang-orang beradab meninggalkan kita.”
Dikatakan : “Tiga perkara yang tidak akan membuat orang merasa asing : 1). Menghindari orang yang berakhlak buruk; 2). Memperlihatkan adab; 3). Mencegah tindakan yang menyakitkan.”
Syeikh Abu Abdullah al-Maghriby membacakan syair berikut ini, tentag adab :
Orang asing tak terasing
Bila dihiasi tiga pekerti
Menjalan adab, diantaranya,
Dan kedua berbudi baik.
Dan ketiga menjauhi orang-orang berakhlak buruk.
Ketika Abu Hafs tiba di Baghdad, al-Junayd berkata kepadanya : “Engkau telah mengajar murid-muridmu untuk berperilaku seperti raja-raja!>” Abu Hafs menjawab : “Memperlihatkan adab yang baik dalam lahiriahnya, merupakan ragam dari adab yang baik dalam batinnya.”
Abdullah ibnul Mubarak berkata : “Melaksanakan adab bagi seorang ‘arif adalah seperti halnya Taubatnya pemula.”
Manshur bin Khalaf al-Maghriby menuturkan : “Seseorang mengharapkan kepada seorang Sufi : “Alangkah jeleknya adabmu!.” Sang Sufi menjawab : “Aku tidak mempunyai adab buruk.” Orang itu bertanya : “Siapa yang mengajarmu adab?” Si Sufi menjawab : “Para Sufi.”
Abu an Nashr as-Sarraj mengatakan : “Manusia terbagi tiga kategori dalam hal adab : “1) Manusia duniawi, yang cenderung mempriorotaskan adabnya dalam hal kefasihan bahasa Arab dan sastra, menghafalkan ilmu-ilmu pengetahuan, nama-nama kerajaan, serta syair-syair Arab; 2). Manusia religius yang mempriortaskan dalam olah jiwa, mendidik fisik, menjaga batas-batas yang didtetapkan Allah, dan meninggalkan hawa nafsu; 3). Kaum terpilih (ahlul Khususiyah), yang berkepdulian pada pembersihan hati, menjaga rahasia, setia kepada janji, berpegang pada kekinian, menghentikan perhatian kepada bisikan-bisikan sesat, menjaankan adab pada saat-saat memohon, dan dalam tahapan-tahapan kehadiran dan taqarrub dengan-Nya.”
Diriwaytakan bahwa Sahl bin Abdullah mengatakan : “Orang yang gmenundukkan jiwanya dengan adab berarti telah menyembah Allah dengan tulus,”
Dikatakan : “Kesempurnaan adab tidak bisa dicpaai kecuali oleh para Nabi – Semoga Allah melimpahkan salam kepada mereka --- dan penegak kebenaran (shiddiqin).”
Abdullah ibnul Mubarak menegaskan : “Orang berbeda pendapat mengenai apa yagn disebut adab. Menurut kami, adab adalah mengenal diri.”
Dulaf asy-Syibly berkata : “Ketidak mampuan menahan diri dalam berbicara dengan Allah swt. berarti meninggalkan adab.”
Dzun Nuun al-Mishry berkomentar : “Adab seorang ‘arif melampaui adab siapapun. Sebab Allah yang dima’rifati yang mendidik hatinya.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Allah swt. berfirman : “Barangispaa yang Aku niscayakan tegak bersama Asma dan Sifat-Ku, maka Aku niscayakan adab padanya. Dan siapa yang Ku-buka padanya jauh dari hakikatDzat-Ku, maka Aku niscayakan kebinasaan padanya. Pilihlah, mana yang engkau sukai; adab atau kebinasaan.”
Suatu hari Ibnu Atha’ yang menjulurkan kakinya ketika sedang berada bersama murid-muridnya, berkata : “Meninggalkan adab di tengah-tengah kaum yang memiliki adab adalah tindakan yang beradab.” Statemen ini didukung oleh Hadits yang menceritakan Nabi saw. sedang berada bersama Abu Bakr dan Umar. Tiba-tiba Utsman datang menjenguk beliau. Nabi menutupi paha beliau dan bersabda. “Tidakkah aku malu di hadapan orang yang malaikat pun malu di hadapannya.??” Dengan ucapannya itu, Nabi menunjukkan bahwa betatapun beliau menghargai keadaan Utsman, namun keakraban antara beliau dengan Abu Bakr dan Umar lebih beliau hargai. Mendekati makna kontseks ini mereka bersyair berikut :
Dalam diriku penuh santun nan ramah,
Maka, bila berhadapan dengan mereka
Yang memiliki kesetiaan dan kehormatan,
Kubiarkan jiwaku mengalir wujudnya yang spontan.
Aku berbicara apa adanya
Tanpa malu-malu
Al-Junayd menyatakan : “Manakala cinta sang pecinta telah benar, ketentuan-ketentuan mengenai adab telah gugur.”
Abu Utsman al-Hiry mengatakan : “Makala cinta telah menghujam sang pecinta, adab akan menjadi keniscayaannya.”
Ahmad an-Nury menegaskan : “Barangsiapa tidak menjalankan adab di saat kini, maka sang waktunya akan dendam padanya.”
Dzun Nuun al-Mishry berkata : “Jika seorang pemula dalam Jalan Sufi berpaling dari adab, maka dia akan dikembalikan ke tempat asalnya.”
Mengenai ayat :
“Dan (ingatlah kisah) Ayub ketika ia menyeru kepada Tuhannya,’ (Ya Tuhan), sesungguhnya aku telah ditimpa penyakit dan Engkau adalah Tuhan Yang Maha Penyayang di antara semua yang penyayang.” (Qs. Al-Anbiya :83).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq memberikan penjelasan : “Ayub tidak mengatakan : “Kasihanilah aku.” (Irhamny), semata karena beradab dalam berbicara pada Tuhan.”
Begitu juga Isa as. Mengatakan :
“Jika Engkau menyiksa mereka, maka sesungguhnya mereka adalah hamba-hamba-Mu.” (Qs. Al-Maidah :118).
“Seandainya aku pernah mengatakannya, maka tentulah Engkau telah mengetahuinya.” (Qs. Al-Maidah :116).
Komentar Syeikh ad-Daqqaq : “Nabi Isa mengucapkan “ Aku tidak menyatakan’ (lam aqul), semata karena menjaga adab di hadapan Tuhannya.”
Al-Junayd menuturkan : “Pada hari Jum’at di antara orang-orang salihin datang kepadaku, dan meminta : “Kirimlah salah seorang fakir kepadaku untuk memberikan kebahagiaan kepadaku dengan makan bersamaku.” Aku pun lalu melihat ke sekitarku, dan kulihat seorang fakir yang kelihatan lapar. Kupanggil dia dan kukatakan kepadanya : “Pergilah bersama syeikh ini dan berilah kebahagiaan keapdanya.” Tak lama kemudian orang itu kembali kepadaku dan berkata : “Wahai Abu; Qasim, si fakir itu hanya makan sesuap saja dan pergi meninggalkan aku!” Aku menjawab : “Barangkali Anda mengatakan sesuatu yagn tak berkenan pada benaknya.” Dia menjawab : “Aku tidak mengatakan apa-apa.”
Aku pun menoleh, tiba-tiba si fakir duduk di dekat kami dan aku bertanya ke padanya : “Mengapa engkau tidak memenuhi kegembiraannya?” Dia menjawab : “Wahai Syeikh, saya meninggalkan Kufah dan pergi ke Baghdad tanpa makan sesuatu pun. Saya tidak ingin kelihatan tak sopan di hadapan Anda karena kemiskinan saya, tetapi ketika Anda memanggil saya, saya gembira karena Anda mengeathui kebutuhan saya sebelum saya mengatakan apa-apa. Saya pun pergi bersamanya, sambil mendoakan kebahagiaan surga baginya. Ketika saya duduk di meja makannya, dia menyuguhkan makanan, dan berkata, Makanlah ini, karena aku menyukainya lebih dari uang sepuluh ribu dirham.” Katika saya mendengar ucapannya itu, tahulah saya bahwa citarasanya rendah sekali. Karenanya, saya tak suka makan makanannya.” Aku menjawab : “Tidakkah kau telah mengatakan kepadamu bahwa engkau bertindak tak beradab dengan tidak membiarkannya bahgia?” Dia berkata : “Wahai Abul Qasim, saya berTaubat!.” Maka aku pun menyuruhnya kembali kepada orang saleh itu dan menggembirakan hatinya.”
No comments:
Post a Comment