Friday, August 21, 2015

{BAB TIGA 23} UBUDIYAH (al-Qusyairiyyah)

| Friday, August 21, 2015
TERJEMAH KITAB 
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
PENJELASAN TENTANG
“TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN SUFI”
23.
UBUDIYAH


Allah swt. berfiman :
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu keyakinan.” (Qs. Al-Hijr :99).
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id al-Khurdry dari Abu Hurairah r.a. bahwa Rasulullah saw. bersabda :
“Ada tujuh golonga manusia yag akan dinaungi Allah swt. dalam naungan-Nya pada hari ketika tidak ada naungan selain naungan-Nya : Imam yang adil; pemuda yang bersemangat dalam ibadat kepada Allah swt; seseorang yang hatinya berkait dengan masjid sejak saat ia keluar hingga kembali (ke masjid); dan dua orang yang saling mencintai karena Allah, yang bertemu dan berpisah karena Allah, seseorang yang mengingat Allah swt. hingga air matanya mengalir; serta seseorang yang digoda seorang wanita baik dan cantik, lantas menjawab dengan ucapan : “Aku takut kepada Allah Tuhan semesta alam; dan seseorang yang bersedekah dengan diam-diam hingga tangan kirinya tidak tahu apa yang diberikan oleh tangan kanannya.” (H.r. Bukhari – Muslim, Tirmidzi dan Nasa’i).
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Ubudiyah adalah lebih sempurna daripada ibadat. Karena itu, pertama-tama adalah ibadat. Lalu ubudiyah, dan akhirnya abudah.” Ibadat adalah amalan kaum awam; Ubudiyah adalah amalam kaum terpilih (khawwash); dan Abudah adalah amalan kaum yang sangat terpilih (khawwashul khawwash).” Beliau juga mengatakan : “Ibadat adalah untuk orang yang memiliki ilmu yaqin, ubudiyah untuk orang yang memiliki ‘ainul yaqin, dan abudah untuk orang yang memiliki haqqul yaqin.” Beliau juga berkomentar : “Ibadat adalah untuk orang yang sedang berrjuang keras (mujahadah), ubudiyah untuk orang yang sangat tahan menanggung kesukaran (mukabidat) dan abudah adalah sifat ahli musyahadah. Jadi, orang yang tidak mengeluh kepada Allah, jiwanya berada dalam keadaan ibadat, dan siapa yang tidak bakhil jiwanya dialah pemilik ubudiyah, dan siapa yang tidak bakhil ruhnya, dialah pemilik abudah.”
Dikatakan : “Ubudiyah adalah menegakkan tindak-tindak ketaatan yang sejati, dengan khusyu’, memandang diri dengan mata yang terbatas, dan menydari bahwa amal-amal kebajikan hanya dapat terlaksana berkat ketentuan takdir.”
Dikatakan pula : “Ubudiyah berarti meninggalkan ikhtiar sendiri ketika menghadapi takdir ilahi.”
Dikaakan pula : “Ubudiyah adalah mengosongkan diri dari keyakinan akan kekuatan dan kemampuan diri sendiri dan mengakui kekayaan serta anugerah yang diberikan-Nya kepadamu.”
Juga dikatakan : “Ubudiyah adalah menyambut apa pun perintah yang diberikan kepadamu dan memisahkan dirimu dari apa pun yang engkau dilarang atasnya.”
Muhammad bin Khafifi ditanya : “Bilakah ubudiyah itu sah?” Ia menjawab : “Apabila seseorang telah menyerahkan diri sepenuhnya kepada Allah swt. dan memiliki kesabaran terhadap-Nya dalam menjalani cobaan-Nya.”
Sahl bin Abdullah mengatakan : “Bagi siapa pun, ubudiyah tidaklah shahih sampai ia tidak memperdulikan empat hal : Kelaparan, ketelanjangan, kemiskinan dan kehinaan.”
Dikaakan : “Ubudiyah adalah hendaknya engkau menyerahkan diri sepenuhnya kepada-Nya dan menanggungkan segala perbuatan kepada-Nya.
Dikatakan pula : “Salah satu tanda ubudiyah adalah bahwa engkau meninggalkan angan-angan sendiri dan mempersaksikan takdir.”
Dzun Nuun al-Mishry menjelaskan : “Ubudiyah adalah bahwa engkau menjadi hamba-Nya dalam setiap kondisi, seperti halnya Dia adalah Tuhanmu di setiap kondisi.”
Ahmad Jurairy menjelaskan : “Penghamba kenikmatan banyak sekali, tapi sedikit sekali yang menjadi penghamba Sang Pemberi nikmat.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Engkau akan menjadi hamba dari siapa pun yang mengikatmu. Jika engkau teerikat kepada dirimu sendiri, maka engkau akan menjadi hamba bagi dirimu sendiri. Jika engkau terikat kepda kehidupan duniawi, maka engkau akan menjadi hamba bagi kehidupan duniawimu.” Rasulullah saw. bersabda :
“Celakalah hamba dirham, celakalah hamba dinar, celakalah hamba pakaian bagus.” (H.r. Bukhari).
Ismail bin Nujayd menegaskan : “Tidak satu pun langkah dapat murni di jalan ubudiyah sampai seseorang melihat bahwa amal-amal baiknya adalah riya’ dan keadaan-keadaan ruhani (haal)-nya adalah berpura-pura.”
Abdullah bin Munazil mengatakan : “Hamba adalah hamba, selala ia tidak menuntut apap pun untuk tunduk kepada dirinya. Jika ia telah menuntut pelayan bagi dirinya, ia benar-benar gugur dari batas ubudiyah dan telah meninggalkan adab ubudiyah.”
Sahl bin Abdullah berkomentar : “Ubudiyah hanya dapat dipandang benar pada seorang hamba manakala pengaruh kemiskinan dalam kefakiran tidak tampak, tidak ada tanda kekayaan ketika ia kaya.”
Dikatakan : “Ubudiyah adalah penyaksian rububiyah.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkata : “Aku mendengar Ibrahim an-Nashr Abadzy mengatakan : “Nilai seorang penghamba karen Yang Dihamba, seperti nilai seorang ‘Arif karena Allah Yang Dima’rifati.”
Abu Hafs berkata : “Ubudiyah adalah hiasan yang indah atas diri seorang hamba. Barangsiapa meninggalkan ubudiyah berarti terlarang dari perhiasan.”
An-Nibajy mengatakan : “Prinsip ibadat itu didasarkan pada tiga hal : Hendaknya engkau tidak menolak aturan-Nya yang mana pun; tidak menahan sesuatu pun yang diminta-Nya; dan hendaknya Dia tidak mendengar engkau meminta kepada orang lain untuk memenuhi kebutuhamu.”
Ibnu Atha’ menjelaskan : “Ubudiyah ada empat perilaku : Kesetiaan pada janji, menjaga batas-batas yang telah ditetapkan Allah; ridha terhadap apa pun yang dimiiki; dan kesabaran terhadap apa pun yang hilang.”
Amru bin al-Makky menuturkan : “Tidak pernah kutemui banyak manusia di Mekkah dan di tempat lain, atau yang datang mengunjungiku di berbagai waktu, tak seorang pun yang lebih besar mujahadahnya dan lebih memelihra ibadatnya dari al-Muzany – semoga Allah merahmatinya. Aku tidak pernah menjumpai seorang pun yang lebih baik dalam mengagungkan perintah-perintah Allah swt. daripadanya, yang lebih mengendalikan diri, atau yang sama pemurahnya kepada sesamanya, dibanding al-Muzany.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Tiada sesuatu pun yang lebih mulia dalam ubudiyah, juga tiada gelar yang lebih sempurna bagi seorang beriman selain sebuah nama , :ubudiyah”. Karena alsan ini Allah swt.  ketika menggambarkan sifat Rasulullah saw. pada malam Mi’raj – saat paling mulia di dunia ini – berfimran “Maha suci Allah, yang telah memperjalankan hamba-Nya pada suatu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha.” (Qs. Al-Isra’ :1). Kemudian Allah swt. berfirman : “Lalu ia  menyampaikan kepada hamba-Nya apa yang telah Allah wahyukan.” (Qs. An-Najm : 10). Maka seandainya ada gelar yang lebih agung daripada sifat ke “hamba” an, tentulah Dia telah menggunkanannya untuk beliau.”
Dalam konteks inilah syair dialntunkan :
Wahai Amru, membalaskan tumpahnya darahku
Demi Zahra’ku
Mata dan telinga tahu semua ini.
Jangan panggil diriku
Kecuali “wahai hamba Zahra’”
Sungguh nama termulia
Panggilan itu bagiku.
Salah seorang Sufi berkomentar. “Ada dua hal : Ketenangan sampai pada kelezatan, dan keterkaitan Anda atas gerakan. Jika Anda menggugurkan diri dari dua hal tersbut, Anda bakal mendapati hak ubudiyah.”
Muhammad al-Wasithy memperingatkan : “Waspadalah terrhadap anugerah yang ditimbulkan oleh pemberian, karne abagi manusia Sufi, itu merupakan tabir.”
Abu Ali al-Jurjany berkata : “ Merasa ridha adalah rumah ubudiyah. Sabar adalah pintunya, penyerahan total adalah rumahnya. Suara di atas pintu, kegaduhan di dalam tempat tiggal, dan keringanan jiwa ada di rumah.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq mengatakan : “Sebagaimana rububiyah sebagai sifat Allah swt. yang tak pernah sirna, maka ubudiyah adalah sifat hamba yang tak penah pisah. Sebagian Sufi bersyair :
Jika kau tanya padaku,
Aku berkata, “Inilah, aku hamba-Nya.”
Dan jika mereka tanya kepada-Nya,
Dia berkata, “Inilah, dia hamba-Ku.”
AN-Nashr Abadzy menegaskan : “Amal-amal ibadat lebih dekat pada pencarian maaf dan ampunan atas kekurangan-kekurangan daripada permohonan imbalan dan pahala.” Ia juga mengatakan, “Ubudiyah berarti kehilangan kesadaran akan pengabdian ketika menyaksikan Yang Maha Disembah.”
Al-Junayd mengatakan : “Ubudiyah adalah meninggalkan semua aktivitas dan kesibukan dengan cara menyibukkan diri pada hal-hal yang merupakan dasar kebebasan.”



Related Posts

No comments:

Post a Comment