Saturday, July 11, 2015

{BAB TIGA 19} YAKIN (al-Qusyairiyyah)

| Saturday, July 11, 2015


TERJEMAH KITAB 
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
PENJELASAN TENTANG
“TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN SUFI”
19.
YAKIN

Allah swt. berfirman :
“.... Dan mereka yang beriman kepada Kitab (Al-Qur’an) yang telah diturunkan kepadamu dan kitab-kitab yang telah diturunkan sebelummu, serta mereka yakin akan adanya (kehidupan) akhirat.” (Qs. Al-Baqarah :4).
Diriwayatkan oleh Abdullah bin Mas’ud, bahwa Rasulullah swt. telah bersabda :
Janganlah engkau berusaha menyenangkan hati siapa pun dengan cara membuat murka Allah, dan janganlah memuji siapa pun atas keutamaan Allah yang diberikan, janganlah mencari kepada siapa pun atas anugerah yang tidak diberikan Allah swt. kepadamu, sebab rezeki Allah tidaklah dibawakan kepadamu oleh kerakusan orang yang rakus, tidak pula bisa ditolak darimu oleh kebencian orang yang membencimu. Dengan keadilan-Nya, Allah swt, telah menempatkan ketenangan dan kesenangan hati itu dalam rasa ridha dan yakin, dan menempatkan penderitaan serta kesedihan itu dalam keraguan dan marah.”(Hr. Thabrani, Ibnu Hibban dan Baihaqi).
Abu Abdullah al-Anthaky berkata : “Keyakinan minimal adalah bahwa manakala ia memasuki hati, maka ia memenuhinya dengan cahaya dan mengusir setiap keraguan dari dalamnya; dan dengan yakin, hati menjadi penuh rasa syukur dan takut kepada Allah swt.”
Ja’far al-Haddad menuturkan : “Abu Turab an-Nakhsyaby melihatku ketika aku berada di pdang pasir, duduk didekat sebuah mata air. Aku sudah enambelas hari lamanya tidak makaengapa engkau duduk di sini?” Aku menjawab : “Aku terombang-ambing di antara ilmu dan yakin, menunggu mana yang akan menang agar aku dapat bertindak sesuai dengannya. Jika ilmu menguasai diriku, aku akan minum; jika keyakinan yang akan menang, aku akan terus berjalan.” Ia berkata kepadaku : “Engkau akan mendapatkan suatu derajat.”
Abu Utsman al-Hiry menjelaskan : “Keyakinan adalah tidak adanya kepedulian terhadap hari esok.”
Sahl bin Abdullah menjelaskan : “Keyakinan datang dari tambahan iman dan realisasinya.” Dikatakannya pula : “Keyakinan adalah cabang iman dan yakin itu berada di bawah penegasan kebenaran iman (tashdiq).
Salah seorang Sufi mengatakan : “Keyakinan adalah pengetahuan yang dipercayakan pada hati.” Ia mengisyaratkan perkataan ini, bahwa keyakinan bukanlah sesuatu yang diperoleh dengan usaha (muktasab).
Sahl menjelaskan : “Permulaan keyakinan adalah mukasyafah.” Karena itu salah seorang kaum salaf mengatakan : “Jika tabir terungkap, maka hal itu tidaklah akan menambah keyakinanku.” Kemudian beralih ke pembuktian dan penyaksian (musyahadah).
Abu Abdullah bin Khafif menegaskan : “Keyakinan adalah pemastian oleh rahasia hati melalui hukum-hukum kegaiban.”
Abu Bakr bin Thahir mengatakann : “Ilmu datang melalui penentangan terhadap keraguan, tetapi dalam keyakinan tidak ada keraguan sama sekali.” Dengan demikian ia mempertentangkan ilmu yang diperoleh melalui usaha, dengan apa yang diperoleh melalui ilham. Jadi pengetahuan seorang Sufi pada awalnya bersifat usaha, dan pada akhirnya bersifat langsung.
Saya mendengar Muhammad Ibnul Husain menceritakan, bahwa salah seorang Sufi mengatakan : “Maqam pertama aalah ma’rifat, kemudian keyakinan, lalu pembenaran, disusul ikhlas, dan kemudian penyaksian (musyahadah) danya Tuhan, lalu taat. Istilah iman, mencakup keseluruhan istilah-istilah tersebut.”
Orang yang mengucapkan kata-kata ini menunjukkan bahwa hal pertama yang diperlukan adalah ma’rifat Allah swt. yang tidak dapat ddiperoleh, kecuali dengan memenuhi persyaratannya. Persyaratan tersebut adalah wawasan yang benar. Kemudian manakala bukti-bukti datang susul-menyusul dan menghasilkan bukti, orang tersebut terlimpahi silih bergantinya cahaya batiniah, bebas dari semua kebutuhan untuk merenungkan bukti-bukti; itulah keadaan yakin, Mengenai pembenran Al-Haq (tashidiqul haq), hal iini berhubungan dengan apa yang diinformasikan-Nya kepada seseorang dengan penuh perhatian terhadap panggilan-Nya, berkenaan dengan apa yang diinformasikan-Nya kepada seseorang mengenai af’al-Nya pada tahap awalnya. Sebab tashdiq, sifatnya informatif, sedangkan ikhlas memiliki akibat dalam pelaksanaan berbagai perintah. Setelah itu, pengungkapan tanggap si hamba dengan penuh musyahadah yang indah, setelah itu menyusul pelaksanan tindakan-tindakan kepatuhan, dengan dasar perintah tauhid, sekaligus menghindari yang terlarang dalam tauhid. Dalam konteks tersebut Imam Abu Bakr bin Furak menyinggung pengertian ini ketika saya mendengar beliau mengatakan : Dzikir dengan lisan adalah luapan yang meliputi dari kalbu.”
Sahl bin Abdullah berkomentar : “Adalah haram bagi hati untuk mencium bau keyakinan yang di dalamnya masih ada kepuasan terhadap yang selain Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mushry berkata : “Keyakinan menyeru orang untuk membatasi keinginan duniawi, dan pembatasan ini menyeru pada zuhud, dan zuhud mewariskan kebijaksanaan, dan kebijaksanaan mewariskan kemampuan untuk memandang akibat-akibatnya.” Ia juga mengatakan : “Ada tiga  tanda keyakianan : Mengurangi bergaul dengan manusia; Mengurangi pujian kepaa mereka saat memperoleh hadiah; dan menghindari perbuatan mencari-cari kesalahan mereka, jika mereka tidak memberi (hadiah). Selanjutnya ada tiga tanda keyakinan atas keyakinan (yaqinul yaqin), Melihat kepada Allah swt, dalam segala sesuatu, kembali kepada-Nya dalam setiap persoalan, dan berpaling dengan-Nya untuk memohon bantuan dalam segala hal.”
Al-Junayd mengatakan : “Keyakinan adalah tetapnya ilmu di dalam hati, ia tidak berbalik, tidak berpindah dan tidak berubah.”
Ibnu Atha’ mengatakan : “Sebatas derajat dimana mereka mencapai takwa kepada Allah swt, sebtas itu pula mereka akan memperoleh keyakinan.” Tandasan takwa kepada Allah adalah penentangan terhadap perkara yang haram, dan menentang perkara yang haram identik dengan menentang diri sendiri. Jadi, sejauh derajat pemisahan mereka dari diri sendiri, sejauh itulah batas yang mereka capai dalam hal keyakinan.”
Salah seorang Sufi mengatakan : “Keyakinan adalah mukasyafah, dan mukasyafah dengan tiga cara : Mukasyafah yang bersifat informatif; mukasyafah penampilan qudrat, dan mukasyafah hati terhadap hakikat iman.”
Ketahuilah bahwa dalam bahasa Sufi, muksyafah dari segi pengungkapan sesuatu ke dalam hati, manakala hati dikuasai oleh dzikir kepada-Nya tanpa adanya keraguan sedikit pun. Terkadang istilah Kasyf yang mereka maksud adalah sesuatu yang mirip dengan apa yang dilihat dalam kondisi antara tidur dan bangun. Seringkali mereka menyebut keadaan ini dengan sebutan sabaat.
Imam Abu Bakr bin Furak meriwayatkan : “Aku bertanya kepada Abu Utsman al-Maghriby : “Apakah ini, yang Anda telah mengatakan itu?” Ia menjawab : “Aku melihat orang-orang tertentu seperti ini dan seperti itu.” Lalu aku bertanya : “Anda melihat mereka dengan wujud nyata Anda atau dengan penyingkapan (mukasyafah)?” Ia menjawab : “Dengan mukasyafah.”
Amir bin Abdul Qays menjelaskan : “Seandainya tabir (kebenaran) disingkapkan, nsicaya hal itu tidak akan menambah keyakinanku.”
Dikatakan : “Keyakinan adalah penglihatan langsung yang dihasilkan oleh kekuatan iman.” Dikapatakan pula : “Keyakinan adalah musnahnya tindak-tindak perlawanan.”
Al Junayd menegaskan : “Keyakinan adalah berhentinya keraguan dalam penyaksian Yang Gaib.”
Saya mendengar Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq berkaa mengenai sabda Rasulullah saw. tentang Isa bin Maryam as. “Seandainya ia bertambah dalam hal keyakinan, nisacaya ia akan dapat berjalan di udara.”
Syeikh menjelaskan bahwa denga ucpannya itu Nabi saw. merujuk kepada keadaan beliau pada malam Mi’raj, sebab berkaitan dengan misteri-misteri Mi’raj itulah beliau mengatakan : “Kulihat buraq tinggal di belakang sedang aku terus berjalan.”
Al-Junayd mengabarkan bahwa ketika as-Sary ditanya tentang keyakinan, ia menjawab : “Keyakinan adalah ketenangan hatimu yang tidak tergoyahkan ketika pikiran-pikiran bergerak menembus dadamu dikarenakan keyakinanmu bahwa gerakan apa pun yang engkau lakukan tidak akan mendatangkan manfaat bagimu ataupun menolak darimu apa yang telah ditetapkan (Allah).”
Ali bin Sahal berkata : “Berada di dalam hadirat Allah swt. (Hudhur) lebih diutamakan daripada keyakinan. Karena hudhur bersifat menetap, sedangkan yakin bersifat bisikan.” Dengan ucapan ini seakan-akan Ali bin Sahl menempatkan keyakinan di awal kebenaran hudhur, dan menjadikan hudhur sebagai kelanjutan dari keyakinan. Ini seakan-akan ia memandang mungkin dicapainya keyakinan terlepas dari keadaan hudhur, tapi situasi sebaliknya adalah tidak mungkin. Karena itu an-Nury berkata : “Keyakinan adalah musyahadah.” Maksudnya, bahwa dalam musyahadah ada keyakinan dan tiada keraguan di dalamnya, sebab musyahadah menafikan kepercayaan yang tidak kokoh.
Abu Bakr al-Warraq berkomentar : “Keyakinan adalah landasan hati, dan iman disempurnakan?” Ia menjawab : “Wahai orang yang lemah keyakinan, apakah Dia yang mampu memelihara langit dan bumi tidak mampu menyampaikan aku ke Mekkah tanpa bergantung bekal?” Ibrahim selanjutnya menuturkan : “Ketika aku tiba di Mekkah, kulihat pemuda itu sedang melakukan thawaf sambil berkata :
Wahai mata yang senantiasa menangis,
Wahai jiwa kematian yang begitu berduka,
Janganlau engkau cintai seiapapun
Selain Dia Yang Maha Agung, Tempat Bergantung.
Dan ketika ia meliahtku, ia pun bertanya : “Wahai orang tua, apakah setelah ini engkau masih berada dalam kelemahan keyakinanmu?”
Ishaq an-Nahrajury berkata : “Jika seorang ghamba menyempurnakan pengertian batiniahnya tentang yakin, maka cobaan akan menjadi nikmat baginya, dan kenyamanan menjadi malapetaka.”
Abu Bakr al Warraq berkata : “Ada tiga aspek keyakinan : Keyakinan informatif; keyakinan akan bukti (dalalat) dan keyakinan musyahadah.”
Abu Thurab an-Naksyaby menuturkan : Ketika aku melihat seorang pemuda berjala di apdang pasir tanpa bekal, aku berkata dalam hati : “Jika ia tidak punya keyakinan, niscaya akan binasa.” Aku bertanya kepadanya : “Wahai anak muda, apakah engkau berada di tempat seperti ini tanpa peerbekalan?” Ia menjawab : “Wahai orang tua, angkatlah kepalamu. Apakah engkau melihat sesuatu selain Allah swt.?” Aku pun berkata kepadanya : “Sekarang pergilah ke mana engkau mau?”
Abu Sa’id al-Kharraz menjelaskan : “Ilmu adalah apa yang membuatmu mampu untuk bertindak, dan keyakinan adalah apa yang mendorongmu bertindak.”
Ibrahim al-Khawwas berkomentar : “Pernah aku berupaya mencari nafkah yang memungkinkan aku memperoleh makan yang halal. Aku menjadi nelayan. Pada suatu hari seekor ikan berenang memasuki jaringku, dan aku mengambilnya lalu meleparkan kembali jalaku ke air. Kemudain masuklah ikan lain ke dalamnya, dan sekali lagi aKemudain terdengar sebuah suara gaib berseru : “Apakah engkau tidak bisa mencari penghidupan selain dengan cara menangkap mereka yang berdzikir kepada Kami, kemudian membunuhnya?” Mendengar itu, aku lalu merobek-robek jalaku dan berhenti mencari ikan.”


Related Posts

No comments:

Post a Comment