Monday, April 27, 2015

{BAB TIGA 4} T A Q WA (al-Qusyairiyyah)

| Monday, April 27, 2015
TERJEMAH KITAB 
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
Karya:
As-Syeikh Al-Imam Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi
BAB TIGA.

PENJELASAN TENTANG
TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN “SUFI”
4.
T A Q W A

Allah berfirman :
“Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertaqwa di antara kamu.” (Qs. Al-Hujarat :13).
Diriwayatkan oleh Abu Sa’id ak-Khudry, bahwa seseorang menghadap Nabi saw. dan berkata : “Wahai Rasulullah, nsehatilah saya!.” Beliau menjawab :
“Engkau harus mempunyai ketakwaan kepada Allah, karena ketakwaan adalah kumpulan seluruh kebaikan. Engkau harus melaksanakan jihad, karena jihad adalah kerahiban kaum Muslimin. Dan engkau harus dzikir kepada Allah, karena dzikir adalah cahaya bagimu.” (H.r. Ibnu Dharies, dari Abu Said).
Anas r.a. meriwayatkan, seseorang bertanya kepada rasulullah saw. “Siaakah keluarga Muhammad?” Beliau menjawab “Setiap orang yang takwa.”
Takwa merupakan kumpulan seluruh kebaikan, dan hakikatnya adalah seseorang melindungi dirinya dari hukum Tuhan dengan ketundukan kepada-Nya. Asal-Usul taqwa adalah menjaga dari syirik, dosa dan kejahatan, dan hal-hal yang meragukan (syubhat), serta kemudian meninggalkan hal-hal utama (yang menyenangkan).
Menurut Syeikh Abu Ali ad.-Daqqaq r.a. masing-masing bagian tersebut memiliki bab tersendiri. Dan dinyatakan di dalam tafsir menganei firman Allah swt. “Bertakwalah kepada Allah dengan sebenar-benar takwa kepada-Nya.” (Qs. Ali Imran : 102), ayat ini mempunyai makna bahwa Dia harus dipatuhi dan tidak ditentang, diingat dan tidak dilupakan, dan bahwa kita harus bersyukur kepada-Nya, dan tidak mengufuri-Nya.
Sahl bin Abdullah menegaskan : “Tiada penolong sejati selain Allah; tidak satu pun pembimbing yang sebenarnya selain Utusan Allah; tak satu pun perbekalan yang mencukupi selain takwa, dan tidak satu pun amal yang langgeng keteguhannya selain bersabar.
Al-Jurairy mengatakan : “Dunia dibagi secara adil sesuai dengan cobaan, dan akhirat dibagi secara adil sesuai dengan takwa.”
AL-Jurairy mengatakan : “Orang yang belum menjadikan taqwa dan muraqabah sebagai hakim, antara dirinya dan Tuhan tidak akan memperoleh musyafah dan musyahadah.”
An-Nashr Abadzy menjelaskan : “Taqwa adalah bahwa hamba waspada terhadap segala sesuatu selain Allah swt. Barangsiapa menginginkan takwa yang sempurna, hendaknya menghindari setiap dosa. Siapa pun yang teguh dalam taqwa akan merindukan pepisahan dengan dunia, karena Allah swt berfirman : “Dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu memahaminya.” (Qs. Al-An’am :32).
Sebagian Sufi berkata : “Tuhan menjadikan berpaling dari dunia dengan mudah bagi orang yang benar-benar bertaqwa.” Abu Abdullah ar-Rudzbary mengatakan : “Takwa adalah menghindarkan diri dari segala sesuatu yang menjadikan diri jauh dari Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Orang yang bertakwa kepada Allah adalah orang yang tidak menodai aspek lahirian dirinya dengan sikap keras kepala, tidak pula aspek batiniahnya dengan alamat-alamat keruhanian. Ia berdiri di sisi Allah dalam keadaan selaras.”
Abul Hasan al-Farisy berkata : “Takwa mempunyai dimensi lahir dan batin. Dimensi lahir adalah pelaksanaan syariah, dan aspek batinnya adalah niat dan mujahadah.”
Dzun Nuun membacakan baris-baris sejak berikut :
Tak ada kehiduan
Selain bersama mereka
Yang hatinya mendambakan takwa
Dan yang istirahat dalam dzikir
Tentram dalam ruh keyakinan
Seperti anak menyusu di pangkuan ibunya.
Dikatakan : “Takwa seseorang ditandai oleh tiga sikap yang baik : Tawakal terhadap apa yang belum dianugerahkan, berpuasa diri dengan apa yang telah dianugerahkan, dan bersabar dalam menghadapi milik yang hilang.”
Thalq bin Habib menjelaskan : “Takwa adalah bertindak sesuai dengan ketundukan kepada Allah sesuai dengan cahaya Allah swt.”
Abu Hafs mengatakan : “Takwa adalah sikap seseorang membatasi dirinya terhdap hal-hal yang jelas diperbolehkan, hanya itu.”
Abu Husyn az-Zanjany mengatakan : “Barangsiapa yang modal hartanya adalah takwa, ia akan lelah menghitung labanya.”
Al-Wasithy menegaskan : “Takwa adalah sikap seseorang menjauhi ketakwaannya; artinya menghindari kesadaran akan taqwa. Contoh orang yang bertakwa adalah Ibnu Sirin. Suatu saat Ibnu Sirin membeli empat puluh kaleng mentega. Ketika salah seorang membantunya menyingkirkan seekor tikus dari salah satu gucinya, Ibnu Sirin bertanya kepadanya, “Guci mana yang darinya tikus itu kamu singkirkan? Ia menjawab : “Saya tidak tau! Selanjutnya Ibnu Sirin memutuskan mengosongkan semua guci dengan menuang seluruh mentega ke atas tanah. Contoh orang saleh adalah Abu Yazid al-Bisthamy. Pada suatu hari ia membeli kunyit jingga di Hamadhan. Ia menjumpai hanya sedikit kunyit-jingga, dan ketika kembali ke Bistham, ditemukannya dua ekor semut di kunyit tersebut. Maka, ia kembali ke Hamadhan dan melepaskan kedua semut itu.”
Abu hanifah tidak pernah mau berteduh di bawah kerindangan pohon milik orang yang gberhutang kepadanya. Ia menjelaskan, “sebuah hadits menyatakan :
“Setia hutang yang pengembaliannya disertai kelebihan adalah riba” (Riwayat al-Ajluni, namun as-Suyuti menganggap hadits ini dha’if).
Abu Yazid sedang mencuci jubah di luar kota bersama seorang sahabat, ketika sahabatnya berkata : “Kita jemur jubah di dinding pagar kebun buah itu.” Abu Yazid menjawab : “Jangan menancapkan paku di dinding orang.!” Sahabatnya menyarankan : “Jemur saja di atas pohon.” Abu Yazid menjawab : “Aku khawatir ia akan menyebabkan cabang-cabangnya patah.” Ia berkata : “Bentangkanlah ia di atas rerumputan!” Abu Yazid menjawab : “Rerumputan itu makanan hewan ternak. Jangan kita menutupi dengan jubah ini!>” Selanjutnya, ia menghadapkan punggungnya hingga satu sisi jubahnya mengering, lantas membalik sisi yang lain hingga mengering pula.
Dikisahkan, pada suatu hari Abu Yazid memasuki masjid dan menancapkan tongkatnya ke tanah. Tongkat itu roboh dan menimpa tongkat seseorang yang berusisa lanjut, yang juga menancapkannya di tanah, dan menyebabkan tongkat orang tersebut roboh. Orang tua itu membungkuk, lalu mengambil tongkatnya. Abu Yazid pergi ke rumah orang tua tersebut dan minta maaf kepadanya, dengan mengatakan : “Anda tentu merasa terganggu disebebkan oleh kelalaian saya, ketika Anda terpaksa membungkuk.
Utbah al-Ghulam tampak bercucuran keringat di musim dingin. Ketika orang-orang di sekitarnya menanyakan hal itu kepadanya, ia memberikan penjelasan. “Ini adalah tempat di mana aku telah bermaksiat kepada Allah swt.” Ketika diminta memberikan penjelasan lebih lanjut, ia mengatakan : “Aku mengambil sebongkah lempung dari dinding ini, supaya tamuku dapat membersihkan tangan dengannya, tetapi aku tidak meminta izin terlebih dahulu kepada pemilik dinding ini.”
Ibrahim bin Adham berkaa : “Pada suatu malam aku menggisi waktu di bawah kubah Masjid Kubah Batu Karang di Baitul Maqdis. Di tengah malam sepi turun dua malaikat. Malaikat pertama bertanya kepada sahabatnya : “Siapakah orang yang berdiam di sini? Sahabatnya menjawab : “Ibrahim bin Adham.” Malaikat pertama itu berkata : “Inilah orang yang derajatnya telah diturunkan Allah swt. satu tingkat! Maka, Malaikat ke dua bertanya : “Mengapa? Ia menjawab : “Karena ketika ia membeli sedikit kurma di Nashrah, sebutir kurma bercampur menjadi satu dengan kurma yang dibelinya, ia tidak mengembalikan kepada pemiliknya.”
Kemudia Ibrahim melaporkan : “Aku berangkat ke Bashrah, membeli kurma dari orang tersebut, dan menjatuhkan se butir kurma ke dalam kurma-kurma miliknya. Aku kembali ke Yerusalem dan dan mengisi malam hariku di Masjid  Kubah Batu Karang. Ketika sebagian malam berlalu, aku melihat dua malaikat turun dari langit, dan malaikat yang satu bertanya kepada sahabatnya : “Siapakah orang yang berdiam di sini? Sahabatnya menjawab : “Ibrahim bin Adham.” Malaikat yang bertanya berkata lagi : “Ini adalah orang yang telah dikembalikan dan dinaikan derajatnya oleh Allah swt.”
Dikatakan bahwa takwa mempunyai bermacam-macam aspek; bagi kaum awam taqwa adalah menghindari syirik, bagi kaum terpilih (khawash) adalah menghindari dosa-dosa, bagi para auliya’ adalah menghindari ketergantungan pada amal, dan bagi para Nabi menghindari menisbatkan amal kepada selain Allah swt. Sebab taqwa mereka datang dari-Nya dan kembali kepada-Nya.
Amirul Mukminin Ali bin Abu Thalib r.a. berkata : “Kaum termulia di dalam dunia adalah kaum dermawan dan yang paling mulia di akhirat adalah kaum yang taqwa.”
Diriwayatkan oleh Abu Umamah, bahwa Nabi. Saw. menegaskan :
“Apabila seseorang menatap kecantikan seorang wanita dan kemudian menundukkan matanya setelah tatapan pertama, maka Allah menjadikan tindakannya itu suatu ibadat yang rasa manisnya dirasakan oleh hati orang yang melakukannya.” (Hr. Ahmad dalam Musnad-nya).
Al-Junayd sedang duduk-duduk bersama Ruwaym, Al-Jurairy dan Ibnu Atha’. Al-Junayd berkata : “Seseorrang tidak akan selamat kecuali bila berlindung secara ikhlas kepada Allah.” Allah swt. berfirman : “Dan terhadap tiga orang yang tidak ikut serta (berjihad), hingga ketika bumi telah menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa) oleh mereka, serta mereka telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah, melainkan kepada-Nya saja. Kemudian Allah menerima tobat mereka agar mereka tetap dalam tobatnya. Sesungguhnya Allah Maha Penerima tobat lagi Maha Penyayang.” (Qs. At-Taubah :118).
“Dan Allah menyelamatkan orang-orang yang bertaqwa kaena kemenagan mereka, mereka tiada disentuh oleh azab (neraka dan tidak pula) mereka berduka cita.” (Qs. Az-Zumar :61).
Al-Jurairy berkata : “Seseorang akan selamat hanya dengan tekun beribadat. Allah swt. berfirman : “.... (yaitu) orang-orang yang memenuhi janji Allah dan tidak merusak perjanjian.” (Qs. Ar-Ra’ad :20).
Ibnu Atha’ menegaskan : “Seseorang akan tidak selamat kecuali dengan sikap malunya di hadapan Allah swt. Allah swt. berfirman : “Tidakkah ia mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya.” (Qs. Al’Alaq :14). “Bahwa sanya orang-orang yang telah ada untuk mereka ketetapan yang baik dari kami, mereka itu dijauhkan dari neraka.: (Qs. Al-Anbiya :101).
Dikatakan, seseorang tidak akan selamat kecuali dengan pilihan yang telah ditetapkan atas dirinya. Allah swt. berfirman : “Dan kami telah memilih mereka (untuk menjadi Nabi-nabi dan Rasul-rasul) dan Kami menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Qs. Al-An’am :87).



Related Posts

No comments:

Post a Comment