Tuesday, April 21, 2015

{Bab Tiga 3} KHALWAT DAN ‘UZLAH(al-Qusyairiyyah)

| Tuesday, April 21, 2015

TERJEMAH KITAB 
RISALATUL-QUSYAIRIYYAH
Karya:
As-Syeikh Al-Imam Abul Qasim Abdul Karim Hawazin Al Qusyairi An Naisaburi

BAB TIGA.

PENJELASAN TENTANG
TAHAPAN-TAHAPAN (MAQAMAT) PARA PENEMPUH JALAN “SUFI”

3.
KHALWAT DAN ‘UZLAH

Diriwayatkan dari Abu Hurairah r.a. (Abdurrahman bin Shakhr ad-Dausy (21s.H – 59H/602-679 M), seorang sahabat sejak ia yatim. Masuk Islam tahun 7 H. Dan senantiasa mendampingi Nabi saw. serta meriwayatkan 5.374 hadits), Bahwa Nabi saw. besabda :
“Di antara cara-cara terbaik bagi manusia dalam mencari penghidupan adalah seseorang mengendarai kuda di jalan Allah, dan apa bila ia mendengar suara manusia-manusia yang panik atau ketakutan dalam peperangan, ia memacu kudanya mencari mati syahid atau kemenangan di medan jihad; atau seseorang menggembalakan biri-biri dan kambing-kambingnya di puncak gunung atau di kedalamanan lembah, namum tetap mendirikan shalat, membayarkan zakat, dan beribadat kepada Tuhan sampai datang suatu keyakinan. Tidak ada urusan dengan sesama manusia kecuali didasarkan pada kebaikan.” (H.r. Muslim).
Menyendiri dari pengaruh duniawi (khalwat) adalah sifat orang-orang suci. Sedangkan mengasingkan diri (‘uzla) adalah lambang orang yang ber-wushul kepada-Nya. Memisahkan diri dari manusia sangat diperlukan bagi murid pada awal kondisi ruhaninya, dan selnjutnya mengasingkan diri pada akhir kondisi ruhani, karena telah mencapai keakraban sukacita ruhani. Sikap seorang yang layak ketika memutuskan untuk memisahkan diri dari manusia adalah meyakini bahwa masyarakat akan terhindar dari kejahatannya (dengan tindakannya memisahkan diri dari mereka), bukan bahwa ia akan terhindar dari kejahatan mereka. Sikap pertama adalah hasil dari seseorang yang memandang rendah dirinya sendiri; sikap kedua adalah akibat seseorang merasa bahwa dirinya lebih baik dari masyarakat. Orang yang mengganggap dirinya tiak berharga adalah rendah hati, dan orang yang menganggap dirinya lebih bergarga ketimbang orang lain adalah takabur.
Seseorang melihat seorang rahib dan berkata kepadanya : “Anda seorang rahib.” Ia menjawab : “Bukan, aku adalah anjing penjaga. Jiwaku adalah seekor anjing yang menyerang ummat manusia. Aku telah menjauhkannya dari mereka supaya mereka aman.”
Seseorang lewat di hadapan syeikh yang shaleh. Sementara syeikh itu bergegas merapatkan jubahnya supaya tidak bersentuhan dengan pakaian orang tersebut. Orang tersebut bertanya : “Mengapa Anda menarik jubah Anda?” Pakaian saya tidak kotor.” Sang Syeikh menjawab : “Dugaan Anda salah. Saya menarik jubah supaya tidak menyentuh pakaian Anda karena jubah saya kotor, kalau tidak, jubah saya pasti mengotori pakaian Anda. Jadi bukan karena saya bermaksud menjaga jubah saya supaya tidak kotor.”
Untuk dapat ber-Uzlah dengan tepat, seseorang harus mempunyai pengetahuan agama untuk memantapkan tauhidnya, agar setan tidak menggodanya dengan bisikan-bisikannya. Ia juga harus mempunyai pengetahuan yang dapat diperolehnya dari syariat – tentang kewajibannya, sgar segala urusannya berada di atas dasar yang kokoh. Sesungguhnya, ‘uzlah adalah menjauhi sifat-sifat hina, mengubah sifat-sifat hina tersebut, bukannya amenjauhkan diri lewat jarak tempat. Itulah sebabnya mengapa lahir pertanyaan : “Siapakah orang ‘arif itu?” Mereka menjawab : “Orang yang ada dan yang jelas, yakni ada bersama makhluk, jelas namun jauh dari mereka lewt rahasianya.”
Syeikh Abu Ali ad-Daqqaq r.a. berkata : “Aku memakai pakaian sebagaimana orang banyak memakaianya, makan makanan yang seperti mereka makan. Namun aku menyendiri dari mereka dalam rahasia.” Saya mendengar ia berkata : “Ada orang yang datang kepadaku dan bertanya, ‘engkau datang dari jarak yang jauh?” saya menjawabnya, ‘Pembicaraan ini bukannya peristiwa bepergian dengan jarak dan ukuran perjalanan.Berpisahlah dari diri Anda sendiri dalam satu langkah saja, dan Anda pasti mencapai tujuan Anda.”
Abu Yazid mengatakan : “Aku melihat Tuhan dalam mimpi, lalu aku bertanya : “Bagaimana aku musti menjumpai-Mu?” Tuhan menjawab : “Tinggalkan dirimu dan kemarilah.”
Abu Utsman al-Maghriby berkomentar : “Adalah wajar bagi seseorang yang memutuskan memisahkan diri dari kesertaan bersama sesamanya supaya bebas dari segala jenis pengingatan, kecuali pengingatan kepada Tuhan, terbebas dari semua hawa nafsu kecuali keinginan mencari ridha Tuhan, dan terbebas dari tuntutan diri akan segala sebab duniawi. Apabila tidak demikian, maka tindakannya berkhalwat hanya akan melemparkannya ke dalam cobaan atau petaka.”
Dikatakan bahwa sendiri dalam khalwat sangat dekat pada ketenangan jiwa.
Seseoarng mengunjungi Abu Bakr al-Warraq, dan sewaktu akan pulang, ia berkata : “Saya telah menemukan yang terbaik dari dunia dan akhirat dalam khalwat dan kemiskinan, dan saya telah menemukan yang terjelek dari keduanya (dunia dan akhirat) dalam pergaulan dengan manusia dan kemewahan.
Ditanya tentang ‘uzlah, Abu Muhammad al-Jurairy menjawab : “’Uzlah adalah Anda masuk ke dalam kumpulan orang banyak sambil menjaga batin Anda supaya tidak diharu-biru oleh mereka. Anda menjauhkan diri dari dosa-dossa, dan batin Anda berhubungan dengan al-Haq.”
Ada yagn mengatakan : “Siapa pun memlih ‘Uzlah akan mencapai kemuliannya.”
Sahl mengatakan : “Khalwat tidak sah, kecuali dengan memakan makanan haalal, dan memakan makanan halal tidak sempurna kecuali menunaikan Hak Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Aku tidak menemukan sesuatu hal pun yang lebih baik yang dapat melahirkan keikhlasan selain kahlwat.”
Abu Abdullah ar-Ramly bekata : “Gantilah sahabat Anda dengan khalwat, makanan Anda adalah lapar, dan ucapan Anda menjadi munajat. Maka Anda akan mati atau mencapai Allah swt.”
Dzun Nuun al-Mishry mengatakan : “Orang yang menyembunyikan dirinya dari sesama manusia melalui khalwat tidaklah seperti orang yang menyembunyikan dirinya dari sesamanya melalui Tuhan.”
Al-Junayd berkata : “Kesulitan dalam ‘uzlah lebih mudah diatasi ketimbang kesenangan berada bersama orang lain.” Makhul asy-Syaami mengatakan : “Memang bergaul dengan sesama manusia ada baiknya, tetapi ada rasa aman dalam ‘uzlah.”
Yahya bin Mu’adz berkata : “Keheningan adalah sahabat orang jujur.”
Abu Bakr asy-Syibly selalu mengatakan : “Rusak ... rusak, wahai sahabt!” Seseorang bertanya kepadanya : “Wahai Abu Bakr, apa pertanda kerusakan?” Ia menjawab : “Satu dari sekian kerusakan adalah berakrab-akrab dengan orang banyak.”
Yahya bin Abu Katsir berkata : “Barangsiapa bergaul dengan orang banyak haruslah menyenangkan hati mereka, dan barangsiapa menyenangkan hati mereka, berarti telah bertindak munafik.”
Sa’id bin Harb mengatakan : “Aku berangkat menemui Malik Bin Mas’ud di Kufah, dan ia sendirian di dalam rumahnya. Aku bertanya, “Apakah Anda tidak merasa takut sendirian?” Ia menjawab : “Aku tidak menganggap bahwa seseorang yang bersama Allah swt. adalah ketakutan.”
Al-Junayd berkata : “Barangsiapa menginginkan agamanya sehat dan raga serta jiwanya tenteram, lebih baik ia memisahkan diri dari orang banyak. Sesungguhnya zaman yang penuh ketakutan, dan orang yang bijak adalah yang memiliki kesendiriannya.”
Abu Ya’qub as-Susy mengatakan : “Hanya orang-orang yang sangat kuat sajalah yang harus menyendiri. Akan halnya orang-orang seperti kita, bergaul dengan orang banyak lebih menguntungkan.”
Asy-Syibly memerintah Abu Abbas ad-Dimaghani demikian : “Praktikkan kesendirian dan hapuslah nama Anda dari khalayak, hadapkan muka Anda ke dinding sampai Anda meninggal dunia.”
Seseorang menemui Syu’aib bin Harb, yang bertanya : “Mengapa Anda ke sini?” Orang tersebut menjawab : “Wahai sahabatku! Sesungguhnya ibadat tidaklah lestari lewat bergabung dengan yang lain. Seseorang yang belum menjalin kemesraan dengan Allah swt. tidak akan menjadi mesra dengan apa-pun.”
Seseorang ditanya : “Hal mengagumkan apakah yang telah Anda temukan dalam perjalanan Anda?” Ia menjawab : “AlKhidhr menjumpaiku dan ia ingin menyertaiku. Aku khawatir ia mengacaukan tawakalku kepada Allah swt.”
Salah seorang Sufi ditanya : “Adakah seseorang atau sesuatu di tempat ini yang dengannya Anda  merasa akrab?” Ia menjawab : “Ada”. Dengan meletakkan Al-Qur’an di atas pangkuannya, ia menjawab : “Ini”, Berkenaan makna ucapannya itu, para Sufi membacakan baris-baris berikut :
Buku-bukumu di sekitarku
Tidak meningglakan tempat tidurku
Di dalamnya terdapat obat pelipur
Bagi sakit yang kusembunyikan.
Salah seorang Sufi ditanya Dzun Nuun al-Mishry : “Kapan ‘uzlah yang tepat bagi diriku?” Ia menjawab : “Ketika Anda sanggup memisahkan diri Anda dari diri Anda sndiri.” Ditanyakan kepada Ibnul Mubarak : “Apakah obat bagi hati yang sakit?” Ia menjawab : “Berjumpa dengan sesama manusia sejarang mungkin.”
Dikatakan : “Apabila Tuhan hendak memindahkan hamba-Nya dari kehinaan kekafiran menuju kemuliaan ketaatan, Dia menjadikannya intim dengan kesendirian, kaya dalam kesederhanaan, dan mampu melihat kekurangan dirinya. Barangsiapa telah dianugerahi semua ini berarti telah mendapatkan yang terbaik dari dunia dan akhirat.”



Related Posts

No comments:

Post a Comment